
Jadi Agen Asuransi Prudential ?
Mengapa Tidak ?
Jadi Agen Asuransi Prudential ?
Mengapa Tidak ?
VOGADIGITAL
Financial Planning Series
Sengketa Waris : Mahal, Lama dan Memakan Energi Sangat Besar
Agency Builder
David Oyee

Terlepas dari tujuan untuk memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah waris pasti mengundang keprihatinan. Ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga antar ahli waris menjadi tambah meruncing.
Bisa jadi, sebelum masalah ini meledak, jalinan komunikasi dan silaturahmi antar ahli waris sudah tidak terjalin dengan baik.
Sengketa waris yang berlarut-larut seperti halnya angin yang terus-menerus ditiupkan pada bara api. Tidak akan pernah bisa padam.
Rasa benci dan amarah akan terus ada di hati mereka bahkan putusan pengadilan pun tidak akan pernah bisa menghilangkan rasa benci diantara mereka. Ibarat luka yang akan terus menganga dan berdarah.

David Oyee
Agency Builder
Begitu banyak efek negatif dari sengketa waris. Biaya berperkara yang tidak murah dan waktu penyelesaian yang relatif lama. Dari proses di tingkat pertama di pengadilan agama/pengadilan negeri, banding di pengadilan tinggi hingga kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung bisa memakan waktu bertahun-tahun hingga puluhan tahun.
Artinya selama sengketa ini berlangsung dan belum ada keputusan pengadilan yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap, maka atas semua harta sengketa dapat diletakkan sita atas perintah pengadilan. Risiko atas sita harta waris (boedel waris) adalah semua pihak tidak bisa melakukan tindakan hukum apapun atas harta sengketa tersebut termasuk diantaranya menarik dana tabungan/deposito almarhum.
Berikut ini sebuah contoh kasus sengketa waris yang memakan waktu yang sangat lama hingga 18 tahun.
(Kontan.co.id) Adalah Hesti Kartika Nindia, Gatri Lunarindiah, dan R Susapto yang menggugat PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Para penggugat menempuh langkah ini lantaran BCA dinilai selalu mempersulit mereka dalam mencairkan deposito milik ayah mereka, Soeharso Kartodipuro yang telah meninggal dunia pada 12 Agustus 1995 silam. Sang ayah meninggalkan uang dalam bentuk deposito di rekening BCA.
Pada 3 Mei 1996, para penggugat telah meminta bank untuk mencairkan uang tersebut. Mereka melampirkan dokumen pendukung seperti laporan kematian, laporan pemblokiran dari kepolisian, dan surat keterangan waris yang telah disahkan dan dibenarkan oleh lurah dan camat setempat, bahkan sudah mendapatkan pengesahan pengadilan, BCA tetap menolak untuk mencairkan.
Sebab, ada pihak yang juga mengaku sebagai salah satu ahli waris dari pewaris, yaitu janda Soeharso. BCA menunjukkan bukti fotokopi surat nikah antara janda pewaris dengan pewaris. Namun, para penggugat melihat ada kejanggalan. Singkat cerita, perempuan yang mengaku janda pewaris tidak diakui sebagai ahli waris.
Janda gagal, ada pihak lain yang mengaku sebagai anak si pewaris. Bank menunjukkan fotokopi kutipan akta kelahiran tersebut. Anehnya, si anak diduga tidak pernah mengirimkan kutipan tersebut ke bank. Lagi-lagi, bank minta diselesaikan di pengadilan.
Kejadian ini membuat para penggugat jengah. Sebab, setelah berkomunikasi selama 7 tahun, bank baru memberitahukan perihal ini. Para penggugat kembali melakukan apa yang diminta bank. Tetap saja pengadilan menguatkan kedudukan para penggugat. Tampaknya, BCA tak puas dan tetap menolak pencairan dana. BCA meminta pengadilan menunjuk siapa saja ahli waris resmi si pewaris.
Para penggugat gusar dan menuding pihak bank mengada-ada karena para penggugat telah memenuhi seluruh persyaratan. Bahkan kedudukan para penggugat telah diperkuat dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2004 dan Mahkamah Agung pada 2007. Tiba-tiba, pada 2012, BCA mengatakan pencairan dana dapat dilakukan oleh para penggugat. Ketika hendak dicairkan, para penggugat lagi-lagi dikejutkan karena bentuk simpanan tidak lagi dalam bentuk deposito, melainkan giro.
Melihat hal ini, para penggugat merasa dirugikan secara moril, sehingga menuntut BCA membayar ganti rugi senilai Rp6,2 miliar. “BCA telah melakukan perbuatan melawan hukum. Para penggugat meminta ganti kerugian sebesar Rp6,2 miliar,” tulis kuasa hukum para penggugat, Agustinus Hutajulu, dalam berkas gugatannya.
Perjuangan ahli waris nasabah BCA ini untuk mencairkan deposito ayahnya tetap harus kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim menolak gugatan yang dilayangkan nasabah, Hesti Kartika Nindiah dan kedua saudaranya.
Ketua majelis hakim Aviantara membacakan putusan pada Selasa (10/12/2013) yang intinya menolak gugatan untuk seluruhnya. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan BCA dapat membuktikan rekening almarhum Soeharso Kartodipuro merupakan rekening giro. Sementara ahli waris sebagai penggugat tidak dapat membuktikan rekening deposito.
Perjuangan sejak tahun 1995 ini tidak membuahkan hasil karena BCA tetap menolak permohonan mereka. Tepatnya 18 tahun dari tahun 1995 hingga 2013 dan masih belum selesai juga karena masih ada upaya banding dan kasasi di mahkamah agung.
Akar permasalahnnya adalah ada pihak lain yang ikut terlibat mengaku sebagai ahli waris dan sikap kehati-hatian BCA dalam menghadapi kasus waris.
Penyelesaian sengketa waris berbanding lurus dengan pembuktian dan proses persidangan yang memberi ruang kepada pihak yang kalah untuk melakukan upaya hukum yang lebih tinggi.
Yang terjadi pada ahli waris Almarhum Soeharso Kartodipuro tersebut adalah salah satu contoh korban penyelesaian kasus sengketa waris yang berlarut-larut. Celakanya, jika harta waris yang menjadi sengketa adalah berupa rekening di bank, maka nilai uang pada saat masalah sudah berakhir akan menjadi tidak berarti karena atas rekening yang sedang dalam sengketa akan di kategorikan sebagai rekening dormant atau rekening pasif, yaitu rekening yang tidak berhak untuk mendapatkan bunga.
Jika ini yang terjadi, angka Rp 400 juta pada tahun 1995 akan tetap bernilai Rp 400 juta pada tahun 2016. Padahal seandainya pada saat itu dana tersebut bisa langsung dimanfaatkan oleh ahli waris, angka Rp 400 jt pada tahun 1996 akan bisa menjadi Rp 10 Milliar pada tahun 2016 jika diinvestasikan pada instrumen investasi yang tepat.
Bijaksanalah menyiapkan harta waris bagi keluarga Anda, karena tidak semua aset akan mudah dicairkan pada waktunya. Tidak semua aset likuid akan tetap likuid.